Judul Buku: Lumpur Lafindo File, Konspirasi SBY-Bakrie
Penulis: Ali Azhar Akbar (Alumni Teknik Perminyakan ITB)
Penerbit: IndoPetro Publishing, Cetakan Kedua pertengahan Mei 2012
Jumlah Halaman (Plus Lampiran) : 467 halaman
Buku “Konspirasi SBY-Bakrie” merupakan sebuah rekaman sejarah tentang
industri hulu migas yang tidak dijalankan dengan baik, berdasarkan prinsip good
corporate, dan good governance. Banyak fakta menunjukkan bahwa
semburan Lumpur Lapindo yang terjadi sejak 29 Mei 2006 bukanlah merupakan bencana
alam, akan tetapi dampak dari kesalahan manusia yang dilakukan secara sengaja
dan berlangsung secara terus-menerus, operational default .
Jauh lebih banyak ahli geologi perminyakan dunia yang berpendapat
Lumpur Lapindo akibat dari kesalahan teknik pengeboran, bukan akibat gempa bumi
yang melanda wilayah Yogyakarta pada dua hari sebelumnya. Dalam Kongres Ahli
Geologi Dunia (American Asociation of Petroleum Geologiest, AAPG) di Cape
Town, 26-29 Oktober 2008, ada 42 ahli yang menyatakan Lumpur Lapindo akibat human
error, dan hanya 3 ahli yang berpendapat akibat gempa bumi.
Dalam buku yang separuhnya berupa lampiran data dan referensi ini, kajian
secara teknis ditulis detil berdasarkan referensi yang cukup memadai dari
berbagai pihak yang kompeten. Masalahnya, hingga saat ini, mengapa negara harus
ikut menanggung kerugian yang jauh lebih besar yang sesungguhnya disebabkan
oleh kesalahan perusahaan migas swasta yang berkedudukan di luar negeri? Jawabannya, buku ini menjelaskan, karena ada
irisan kepentingan di antara elit
politik dan pengusaha-politisi, sehingga Lumpur Lapindo dilegaliasi menjadi
bagian dari bencana alam yang penanganannya dapat menggunakan uang negara.
Dalam buku ini, legalisasi Lumpur Lapindo sebagai sebuah bencana alam
dianggap tidak berdasar, pembohongan atas rakyat dan sarat dengan kepentingan politik konspiratif.
Penerbitan Perepres 2007 yang meyebabkan
negara ikut ambil bagian dalam tanggung jawab penanganan dampak Lumpur Lapindo
melalui pembentukan BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) merupakan
legaliasi pemerintah atas bencana yang diakibatkan oleh perusahaan swasta. Puncaknya,
adalah ketika Lumpur Lapindo memperoleh pengesahan dalam Rapat Paripurna DPR
tanggal 30 September 2009 yang secara resmi menetapkan Lumpur Lapindo sebagai
bencana alam. Sejak itulah, tiap tahun negara melalui APBN, harus
mengalokasikan uang hingga triliunan rupiah.
Hingga saat ini, APBN telah terkuras lebih dari Rp 7,2 triliun, atau
berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) akan mencapai lebih dari Rp 9,8
triliun sampai tahun 2014. Angka ini belum termasuk biaya kerugian sosial,
kerusakan dan pembangunan kembali infrastruktur, hingga terganggunya aktivitas
ekonomi di wilayah Jatim, yang diperkirakan telah mencapai ratusan triliun
rupiah. Angka ini dipastikan akan terus membengkak hingga luapan Lumpur Lapindo
diperkirakan baru akan berhenti, minimal hingga lebih dari 20 tahun mendatang.
Pertanyaannya, sanggupkah pemimpin negeri ini untuk menghentikan
kerugian negara, yang seharusnya uang yang sangat besar itu dipergunakan untuk
kepentingan lain yang lebih penting dan mendesak? Haruskah negara terus menanggung
kerugian yang sebenarnya diakibatkan oleh kesalahan sebuah perusahaan migas
swasta yang berkedudukan di luar negeri?
Buku ini menjawab secara pesimistis, bahwa kerugian negara akibat
Lumpur Lapindo tidak akan dapat dihentikan. Alasannya, ada kosnpirasi antara
SBY, sebagai Presiden dan Ical, sebagai elit politik di negeri ini yang
sama-sama saling memberikan perlindungan. Ada jasa Ical atas terpilihnya SBY
pada Pilpres 2004. Saat ini, ada ketergantungan pula SBY kepada Ical secara
politik. Keberpihakan SBY atas perusahaan milik keluarga Bakrie dapat dilacak
melalui transkrip percakapan antara SBY dan perwakilan warga yang menjadi
korban Lumpur Lapindo pada tanggal 24 Juni 2007 di Puri Cikeas.
Secara eksplisit dikatakan oleh SBY, bahwa dirinya telah melakukan
kesepakatan dengan pimpinan LBI mengenai mekanisme ganti rugi lahan yang
terkena dampak Lumpur Lapindo. Dikatakan pula, bahwa jalur pengadilan bukanlah
cara yang sebaiknya ditempuh oleh warga Sidoarjo karena dianggap justru akan
merugikan warga sendiri.
Perkataan presiden SBY itu hampir sesuai dengan fakta di lapangan,
dimana akhirnya negara menyetujui mekanisme pembelian lahan oleh Lapindo dengan
cara 20 % uang di muka, dan 80 % sisanya dibayar dengan dicicil, yang ternyata
hingga saat ini masih bermasalah. Perkataan Presiden SBY tentang keengganan
menempuh jalur pengadilan pun sesuai dengan fakta bahwa pada akhirnya Kejaksaan
Agung dan Polri menghentikan proses penyidikan perkara, yang sebelumnya telah
menetapkan sejumlah tersangka pada pimpinan Lapindo dan pejabat BPMIGAS.
Dalam buku ini disebutkan, berdasarkan prinsip strict liability seharusnya
pemerintah memaksa Lapindo dengan tegas agar menanggung seluruh biaya yang
diakibatkan oleh semburan Lumpur Lapindo, hingga kembali pada kondisi yang
dianggap normal kembali. Pemerintah segera mengambil alih sepenuhnya kasus
Lumpur Lapindo, sekaligus secara bersamaan
membawa Lapindo ke pengadilan, agar dapat dinyatakan ada unsur pidana
dalam teknik pengeboran.
Dengan demikian, pemerintah akan dapat meminta pertanggungjawaban
atas seluruh biaya yang telah dan akan terus dikeluarkan dalam upaya
penghentian semburan lumpur Lapindo dan penanggulangan atas dampaknya secara
keseluruhan. Dengan cara ini, maka negara akan dapat menuntut
pertanggungjawaban pemilik Lapindo tidak terbatas hanya pada saham yang
ditanamkan pada PT LBI, akan tetapi pada seluruh aset para pemilik saham perusahaan.
Langkah ini sekaligus sebagai upaya preventif untuk mencegah
terulangnya kembali perusahaan migas melakukan kesalahan dan atau kelalaian
dalam teknis kegiatan ekslporasi maupun produksi migas di Indonesia yang
menyebabkan kerugian negara dan masyarakat setempat. Pertanyaannya, mungkinkah
cara itu dilakukan oleh pemerintah sekarang? Jawabannya, hampir mustahil dapat
dilakukan oleh pemerintahan SBY saat ini yang dianggap saling menyandera dengan
Ical.
Berbagai upaya harus terus dilakukan sebagai bagian dari perlawanan
atas adanya konspirasi tersebut, sehingga negara dan masyarakat tidak terus
dirugikan. Salah satu upaya dalam waktu dekat yang akan dilakukan adalah dengan
cara mengajukan judicial review kepada MK (Mahkamah Konstitusi) terkait
pasal 18 APBN-P 2012 yang memungkinkan negara membiayai penanggulangan Lumpur
Lapindo. Penulis buku ini sendiri yang akan bertindak sebagai pemohon atas
namanya sendiri selaku warga negara pembayar pajak yang telah dirugikan oleh
adanya pasal “siluman” tersebut. Harapannya, MK dapat membatalkan pasal
tersebut sehingga pengeluaran uang negara untuk kepentingan Lumpur Lapindo
dinyatakan sebagai ilegal.
Dalam konteks Pemilu 2014, amat dibutuhkan pemimpin nasional yang bukan
merupakan bagian dari masalah Lapindo. Dibutuhkan sosok yang clear, mampu, dan
berani, sehingga dapat menyelesaikan kasus tersebut demi kepentingan negara dan
rakyat. ***
______________
Foto: Antara/MI
Catatan: Pemesanan buku dapat dilakukan dengan mengirim email ke sriepustakamedia@yahoo.com.
Tetapi, tokoh utamanya sudah akan mendeklarasikan sebagai Capres 2014. hayo siapa saja yang memilih dia nanti harus bertanggungjawab atas rusaknya wajah demokrasi di negeri ini.
BalasHapus